Merekam Kampung Lama: Mengapa Dokumenter?

“Mengapa dokumenter, Den?” tanya Fuad Fauji ketika membuka obrolan kami via Zoom pada tanggal 7 Januari 2022 di malam itu di Bawakolong Studio, denting sembilan malam Waktu Indonesia Timur. Fuad saat itu sedang berada di tempatnya bekerja di Banten Network.

Saya sekilas bermenung, mengangkat kepala dan melihat langi-langit ruangan. Jidat saya sempat berkedut untuk mengahadapi pertanyaan semacam itu. “Dokumenter semacam alat ungkap dari kenyataan,” jawabku. Meski pertanyaan itu tampak terdengar amat sederhana. Rupanya pertanyaan pembuka semacam itu justru menjadi pemantik untuk menggali dan mengenali kebutuhan atau motivasi apa yang melatarbelakangi kelas belajar dokumenter ini dibutuhkan oleh Videoge.

Saya sempat menambahkan jawaban itu dengan hanya bercerita. Bahwa Videoge diinisasi sebagai upaya kolektif yang dicita-citakan. Tidak terjadi begitu saja. Termasuk pelan-pelan menemukan medium produksinya sebagai kelompok belajar, seni dan mutimedia. Embrionya justru muncul sebab gairah mengerjakan video. Kesadaran di sisi memproduksi wacana pelan-pelan diupayakan dapat diserap ke dalam setiap kegiatan produksinya. Paling tidak dapat terjadi sejak dari karyanya. Namun tidak sesederhana yang sudah saya sebutkan itu. Kadang mesti diuji waktu dengan latihan berkali-kali untuk jenis upaya seperti itu.

Kami mendiskusikan bagaimana praktik eksperimen atau kerja di dalamnya dapat terjadi secara organik maupun beberapa hal sengaja dilatih untuk direncanakan. Dalam pertemuan itu saya ditemani Wahyu Chandra dan Enggar Songge. Saat itu Amir Hamza tidak sempat hadir sebab menemani istrinya yang baru saja melahirkan anak pertama mereka.

Obrolan selama satu jam lebih itu terjadi demi membuka diskusi dan berbagi cerita tentang kelas dokumenter yang segera dibuka oleh Videoge dalam kegiatan merekam pengetahuan warga melalui penelitian, pencatatan dan proyeksi seni bertajuk Kampung Lama ini dapat berkembang di tengah pengetahuan, pengalaman dan kenyataan produksi yang masih ingin bertumbuh di tengah adapatasi kita dengan percepatan pembangunan kota ini entah itu disisi pariwisata maupun pemajuan kebudayaan.

Sesungguhnya pertemuan malam itu bukan menjadi pertemuan pertama. Desember tahun 2020 saya sempat bertemu secara tatap muka dengan Fuad dan timnya ketika mereka melakukan penelitian tentang cerita rakyat Manggarai. Setahun kemudian hasil penelitian itu dialih-wahana-kan menjadi sebuah bentuk lokakarya tari bersama formasi tim yang baru dan sempat dipresentasikan ke dalam sebuah pertunjukan yang bagi saya sangat ketat dikerjakan pada 3 Desember di halaman belakang Rumah Tenun Baku Peduli. Dalam lokakarya yang nyaris terjadi selama tiga bulan itu saya diajak oleh Dewi Noviami, manager dari program itu untuk menjadi salah satu fasilitator dibagian tata musiknya. Di sanalah kemungkinan obrolan lain yang saya dan kawan-kawan kerjakan melalui Videoge lantas terjadi.

Obrolan santai itu membawa kami ke satu pembahasan tentang upaya-upaya berkolaborasi dalam membangun kesempatan belajar dan membangun tim produksi microdocumenter. Tetapi produksi pengetahuan dapat dimulai sejak merekam diskusi yang dibikin oleh Videoge. Selain kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan komunitas pun memungkinkan dapat bertalian dan dipelajari dari apa yang ada di lingkungan komunitas ini tumbuh.

Setiap diskusi tentang dokumenter yang digelar dapat dibaca kembali jika tercatat dengan baik dan dapat dijadikan sebagai bacaan baru. Apa-apa yang melatarbelakangi di balik isi kepala teman-teman dapat terungkap di situ. Tidak melulu soal teknis. Tujuannya adalah kita mencari identity pembuatnya, katakanlah kita sedang mencaritahu bahasa visualnya dan menemukan formulanya, juga sesuatu yang kelak kita temukan dalam kerja produksi dokumenter ini sebagai tonggaknya. “Tentu itu dilakukan secara bertahap. Mulai saja dulu,” terang Fuad, pria berkacamata yang seringkali memanggil lawan bicaranya yang diketahui berasal dari Labuan Bajo dengan kata kae, sekalipun lebih muda darinya.

Produksi dokumenter dapat berkontribusi dalam hal pengetahuan. Bukan hanya pengetahuan dokumenter itu sendiri, pada akhirnya ada sudut pandang lain seperti antropologi, seni rupa, dan lainnya. Sinema secara general juga memiliki sudut pandang teater. Kita tidak membatasi diri ketika bekerja dengan pengetahuan, tetapi justru membuka kemungkinan pertalian disiplin. Dalam produksi di arena digital kita juga akan menemukan pembicaraan dan bentuk-bentuk yang beragam sebagaimana layer-layer pengetahuan dalam multimedia dari audio, visual dan teks.

Respons dari sudut pandang lain dapat berupa keberterimaan dan sebaliknya. Bentuknya bisa jadi berupa pembicaraan, ada juga tulisan, serta bentuk-bentuk pembanding lain melalui karya atau produk kreatif lainnya. Hal-hal seperti itu yang akan memperkaya giat dalam produksi pengetahuan. Upaya itu dapat dimunculkan melalui kelas reguler dan membawa kelas belajar itu sebagai praktik pembelajaran yang setara. Setiap orang memiliki pemahaman mengenai dokumenter baik secara teori maupun pengalaman yang dimiliki. Justru akan berfokus pada proses kreatif yang menggembirakan, tidak kaku dan ribet. Tidak terbatasi oleh defenisi maupun  pengetahuan akademik. Dalam konteks “Merekam Kampung Lama” kita dapat membuka kemungkinan kerjanyanya itu dengan menautkan beragam sudut pandang sebagai produksi pengetahuan.

Kelas belajar dokumenter dan upaya membentuk tim produksinya dapat diseimbangkan dengan menjaga pengetahuan wacana dan praktiknya. Sekaligus membuka jejaring dan pertemanan. Proyeksi seni dalam merekam Kampung Lama dapat diupayakan dengan melakukan pencatatan yang ada dalam keseharian warga. Sebagaimana elemen-elemen pengetahuan dalam multimedia bahwa audio, visual hingga teks dapat diupayakan sekali dayung dalam produksi atau bahasa film. []